Dunia Kita Dunia Fiksi Oleh :Rayni N. Massardi/Ketua DPP PBR

Dunia Kita Dunia Fiksi

Oleh Rayni N. Massardi/Ketua DPP PBR

(Artikel ini dimuat di Majalah Esquire edisi November 2008)

 

 

Memasuki tahun yang baru beberapa bulan ke depan bisa merupakan sesuatu yang penting dan enggak penting . (Semoga masih ada tahun yang akan datang).

 

Untuk apa kita bersusah memikirkan sesuatu yang kita pun tidak tahu apa sesungguhnya yang (tidak) akan terjadi? Untuk menempatkan diri sebagai orang yang peduli pada tahun yang akan datang? Atau sekadar basa basi ikutan bicara agar tidak ketinggalan zaman? Atau supaya dicap sebagai kelompok sosialita yang pantas masuk ke dalam ‘membership’ orang-orang beruntung karena bergaul dengan para yuppies, jet-set…? Atau mungkin karena kita tidak tahu musti ngobrolin soal apa…?

 

***

 

Detik demi detik toh waktu tetap berjalan tanpa bisa kita stop. Mau bilang hari esok akan lebih baik, juga agak aneh. Karena kita tidak akan tahu apa benar esok kita akan mendapatkan keberuntungan. Karena kita bukan Tuhan, makanya kita jadi manusia biasa-biasa sajalah. Jangan sok tahu segala masalah dan merasa tahu jalan keluarnya pula.

 

Berencana melakukan sesuatu yang besar untuk tahun-tahun mendatang tentu boleh saja. Tapi bukan sok menjadi peramal. Jangan membohongi diri menutupi kebodohan yang telah berulang kali kita lakukan. Kadang kita ingin segera ada perubahan dalam hidup bahkan secepatnya. Maunya berhasil dalam segala hal. Karakter dan lingkungan, juga perjalanan hidup seseorang, itu tidak sama, dan enggak mungkin dipaksa harus idem. Artinya, tidak perlu bersusahpayah menyama-nyamakan diri dengan orang lain, apalagi dengan segala macam cara. Wah!

 

Nasib dan takdir seseorang itu sudah ada yang menentukan.  Memang pasti akan banyak hambatan atau halangan untuk mendapatkan pujian. Tidak semua akan seindah harapan. Banyak masalah yang harus kita perjuangkan, di tengah problema yang tak kunjung tuntas. Nah, itulah yang harus membuat kita sebagai manusia terus berusaha. Jangan terlalu dianggap penting pujian atau ucapan selamat, atau kehebatan, dan ketulusan yang sudah kita berikan. Karena kemurahan hati dan kesombongan itu dekat banget jaraknya. Kadang bisa berbaur begitu saja tanpa kita tahu baunya.

 

***

Saya tidak pernah terlalu berharap untuk kehidupan yang akan datang. Saya tidak mau muluk-muluk. Wajar saja. Juga tidak mau riang berlebihan. Ini bukan pernyataan orang yang pesimistis, lo. Karena saya selalu optimistis dengan cara dan jalan yang saya yakini sendiri. Misalnya, menyiapkan diri untuk selalu ‘kalah’ dalam menghadapi apa pun. Hmh…! Kayaknya klise skalee, ya...! Masuk masuk akal! Harus ada ide-ide yang ‘norak’ untuk Negara ini. Bayangkan, betapa padatnya manusia Indonesia dengan isi kepala masing-masing yang nyaris meledak setiap saat. Ide dan kemauan sedemikian tinggi, sampai-sampai prestasi yang mejadi target pun bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Terlalu banyak aturan yang dibuat cuma untuk menjadikan orang-orang tertentu yang boleh dan bisa menjadi hebat dan kaya raya.

 

***

Berapa tahun sudah kita telah meluangkan waktu bersama teman, keluarga, sahabat, musuh, atau orang baru. Ya, semua itu kita jalani, lalui, lewati begitu saja. Kadang senang, sedih, marah, gembira lagi. Semua berputar kembali ke awal lalu ke akhir, terus ke awal lagi. Tidak ada yang baru. Jadi, tahun yang baru pun kelak tidak akan istimewa. Yang menarik hanyalah, sebagai manusia kita akan berubah. Jadi lebih tua, makin tua, semakin berkurang umur, menunggu ajal tiba.

 

Saya selalu memposisikan diri tidak sebagaimana manusia kebanyakan. Karena itu tidak pernah ada keinginan untuk berlomba menjadi ‘pemenang’ di Negara Indonesia saat ini. Sebab, sudah pasti dan banyak bukti bahwa terlalu banyak orang yang harus menjadi korban hanya untuk memenangkan seseorang agar menjadi nomer satu, nomer dua atau yang terhebat. Sudah terlalu banyak orang menderita hanya untuk mengunggulkan sekelompok orang yang akhirnya juga ternyata bukan orang-orang yang pantas kita hormati. Terlalu bosan rasanya kita menyaksikan orang-orang yang mengaku dirinya paling benar, paling beragama, sampai tega menyakiti fisik maupun batin orang lain. Terlalu bosan kita menyimak banyak orang yang bersembunyi di balik kedok agama dan menjadikan dirinya seolah orang yang terbaik. Terlalu sering kita merinding setiap kali mendengarkan ucapan-ucapan dan kalimat berbau religi yang mengalir begitu lancar, yang seolah ditujukan kepada kita, dengan intonasi tertentu seakan kita adalah orang yang terburuk sejagad raya. Hmh..! (lagi…!)

 

***

Jadi, mengingat sudah terlalu banyak kejadian di dunia nyata ini yang sangat mengejutkan, dan sudah terlalu penuh simbol-simbol yang telah menonjok hati sanubari kita, sampai kita jemu, tidak percaya, kecewa, karena hilangnya rasa malu itu ternyata sudah bukan lagi menjadi tabu. Perasaan tidak bersalah, tidak peduli, sudah menjadi sesuatu yang dianggap normal di dunia nyata yang kita jalani sekarang ini.

 

Oleh sebab itu, saya pikir, lebih mantap dan tenang bila kita bisa eksis di dunia fiksi sementara ini. Karena fiksi itulah sesungguhnya “kehidupan nyata” manusia Indonesia saat ini. Seharusnya Indonesia ini diberi nama “Indonesia Fiksi.” Sebab, pelbagai aturan dan norma di dunia nyata, sudah terlampau banyak merugikan rakyat, dan sudah tidak ada kebahagiaan sama sekali di negeri ini.

 

Karena itulah sudah lama saya bernapas, berpikir, bekerja, menulis, memasuki dunia fiksi yang lebih menyenangkan. Saya bela-belain menyelesaikan berlembar-lembar cerita fiksi yang bebas tanpa tekanan. Begitu indah kebebasan yang kita rasakan ketika fiksi menjadi bagian hidup kita.

 

***

Ada beberapa buku yang sudah saya tulis. Bukan buku best seller tetapi buku yang menurut saya punya kekuatan, kebebasan, ketidaktergantungan kepada siapa pun. Saya mampu menjalani keseharian karena tidak harus takut kepada orang lain. Sebagai warganegara kita punya hak atas diri kita sendiri. Kita punya hak untuk merasa aman, nyaman, senang, kenyang, ‘happy’. Tapi bukan berarti kita hidup semaunya. Bukan berarti kita seenaknya menginjak kaki orang lain. Tetapi kita bisa menyiasati keseharian kita, dari kepala sampai ujung kaki dengan baik, versi kita sendiri. Tidak perlu pula pusing-pusing mencari jalan keluar atau menjadi frustrasi. Silakan ramai-ramai tanpa beban masuk ke dunia fiksi. Tapi bukan ke dunia khayal atau mimpi. Karena fiksi dan kenyataan sudah tidak ada bedanya. Kita bisa makan steak dengan nikmat. Bisa ngobrol dengan siapa pun, lapisan mana pun dengan asyik. Tidak ada hirarki yang membuat orang harus menundukkan kepala. Tidak ada lagi rasa sakit berkepanjangan. Karena di dunia fiksi setiap orang bisa menjadi jujur, baik hati, dan peduli kepada sesama.

 

***

Enak, kok, bertualangan dari lokasi satu ke lokasi lain yang indah. Masalah pelik ke masalah ringan terselesaikan dengan mudah. Semua tersenyum.Tidak ada orang miskin. Semua bekerja sesuai kemampuan masing-masing. Tidak akan ada lagi orang yang lapar. Tidak akan ada lagi rumah sakit yang menolak pasien tak mampu. Para dokter akan melayani pasien dengan senang hati, informasi pun selalu diberikan dengan jelas tanpa mempersulit keluarga pasien, sanak saudara orang yang sakit. Di tengah keramaian jalan pun kita akan menemui banyak pemandangan menenangkan hati, menyejukkan pikiran. Semua orang saling menolong. Orang jompo tidak terduduk mengenaskan lagi di kolong jembatan atau di emper mal. Karena orang-orang jompo punya tempat tinggal yang layak, dan gratis pastinya. Anak-anak pergi sekolah dengan riang gembira. Semua lapisan masyarakat dari yang terendah sampai tertinggi mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang adil. Semua pelayanan publik di sekitar kota, luar kota, ujung pulau, begitu rapih. Sangat menguntungkan semua orang. Setiap orang bisa menikmati fasilitas umum dengan baik. Orang cacat juga mendapat perlakuan manusiawi, mendapat fasilitas sesuai dengan kondisi mereka. Para guru tidak ada yang kurus kering lagi karena digaji dengan layak. Para petani, nelayan bekerja dengan pipinya yang memerah karena sehat. Para ibu saling bergotong royong menciptakan lingkungan sehat untuk keluarganya. Para pejabat negara melangkahkan kakinya dengan santun. Dagu tidak diangkat tinggi, tetapi bicara dengan santun, dan membina rakyatnya dengan kasih dan jujur.

 

***

Dunia fiksi adalah dunia yang sebenarnya untuk manusia Indonesia. Besok tahun berapa, ya? Enggak penting! Besok baru gajian? Enggak ngaruh…! ***

Berita 14 Oct 2008
Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan........Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan........Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan........Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan........Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan

Home   |   Tentang PBR   |   Agenda   |   Kegiatan   |   Publikasi   |   Kontak Kami

Copyright  2008 www.PBR.or.id. WSM All rights reserved.