Obama dan Kebangkitan Kaum Perempuan Oleh: Merry Assegaff Ketua Umum Perempuan PBR

Obama dan Kebangkitan Kaum Perempuan

Oleh

MERRY ASSEGAFF

KETUA UMUM PEREMPUAN PBR

 

Setelah 80 tahun deklarasi perjuangan kaum ibu tahun 1928, di Yogyakarta problematika perempuan di negeri ini ternyata belum mengalami perubahan berarti. Kaum ibu tetap menempati posisi marginal dan cenderung diposisikan sebagai warga kelas dua.

 Di kancah politik, ikhtiar pendekatan yuridis melalui penegasan kuota 30 persen perempuan dalam prosesnya ternyata masih sangat simbolis. Penempatan calon legislative perempuan tak lebih hanya sekedar memenuhi kuota formal yang diam-diam mengabaikan kualatas peran dan posisinya. Jumlah caleg partai politik memang sebagian besar telah memenuhi angka yang sesuai undang-undang No. 10 tahun 2008. Namun fakta sulit diingkari angka-angka itu masih memposisikan perempuan tak lebih sekedar pelengkap.

 Berbagai alasan klise dikemukakan antara lain tentang keterbatasan kader partai perempuan yang berkualitas. Sekali pun sebagian alasan ini dapat dipahami namun tetap sulit diingkari bahwa persoalan sebenarnya tidak terletak pada ”keberadaan” tetapi lebih merupakan wujud riil aroma diskriminasi gender walau dalam kemasan lebih canggih.

 Dengan melihat problematika kaum perempuan di negeri ini, yang masih kompleks, minimnya keterlibatan dan peran perempuan memberi pengaruh signifikan terhdap kemajuan bangsa Indonesia. Persoalan perempuan -karena kurangnya peran perempuan yang mengetahui kondisi sesungguhnya problematika perempuan Indonesia- kurang tersentuh. Bagaimana pun adigium bahwa perempuanlah yang lebih mengetahui persoalan perempuan, sulit diingkari.

 Kita tidak dapat menampik perlindungan terhadap kaum perempuan, peningkatan kesejahteraan perempuan dan anak, termasuk proteksi mereka dari serbuan penyakit Hiv/Aid, perdagangan perempuan, diskrimanisi kerja serta tindakan kesewenang-wenangan terhadap kaum perempuan masih menjadi warna warni keseharian. Dan dengan segala kerendahan hati, problem-problem akut itu sangat sulit teratasi tanpa keterlibatan aktif dan peran signifikan kaum perempuan.

 Akan jauh berbeda empati dan simpati dari mereka yang merasakan langsung kompleksitas masalah perempuan. Sekurangnya dari semangat dan itikad, karena merasakan deritanya langsung, peran kaum perempuan diharapkan lebih berarti serta jauh lebih riil memperhatikan problematika kaum perempuan.

 

 

Penjara Persepsi 

 Kungkungan paling besar perempuan di negeri ini memang bukan lagi tekanan terbuka sebagaimana terjadi di masa pra dan awal kemerdekaan. Secara formal saat ini kondisinya sudah mulai membaik karena ada itikad yuridis antara lain melalui kuota 30 persen UU Pemilu. Namun sebenarnya persoalan besar kaum perempuan dalam memerankan dan memecahkan persoalan kaum perempuan di negeri ini masih sangat kental. Jika diteliti secara cermat dari masa pra kemerdekaan sampai saat ini tidak mengalami perubahan berarti.

 Bangsa ini diam-diam masih memiliki persepsi berbeda dalam memandang peran dan keterlibatan perempuan melalui kaca mata buram dan kusam. Karena melalui persepsi memang tidak meninggalkan jejak-jejak formal. Tetapi persepsi yang terbentuk, yang diikuti sikap dan perilaku riil, jelas jauh lebih berbahaya. Yang terjadi pada titik lebih jauh memperlakukan perempuan dalam kungkungan diskrimasi secara diam-diam hingga tak terdeteksi tangan-tangan hukum.

 Secara formal memang tidak ada pelanggaran dan diskrimanasi. Tetapi mereka dengan berlindung dibalik aturan formal, memperlakukan perempuan tetap dengan frame lama sebagai warga kelas dua.

 Sebenarnya ini merupakan bagian dari fakta-fakta sosial, resultan dari kenyataan hidup bahwa kompetisi yang sayangnya sangat tidak adil terhadap kaum perempuan, tetap menjadi persoalan keseharian. Karena itu perjuangan perempuan pada tataran lebih serius bukan lagi terletak penegasan melalui kekuatan yuridis tetapi kekuatan dan kesungguhan kaum perempuan sendiri dalam memperjuangkan hak dan perannya di tengah masyarakat.

 Dalam bahasa keseharian, tidak ada yang gratis di permukaan bumi ini, bila berharap dari orang lain. Ini artinya selalu ada cost yang harus dibayar bila berharap kekuatan lain memperjuangkan kaum perempuan. Intinya, perempuan sendirilah yang harus bangkit, berjuang, menghadapi jelaga dan kendala di tengah masyarakat, yang diam-diam masih memiliki persepsi minor terhadap kaum perempuan.

 

Kemandirian

 Tidak mudah dan sangat berat hingga diperlukan kerja keras kaum perempuan itu sendiri bila ingin melepaskan diri dari persepsi yang menempatkan perempuan di sudut-sudut sempit. Apalagi secara faktual kaum perempuan tetap tak bisa berharap dari kaum laki-laki. Ini artinya, kaum perempuan harus bekerja sendiri, harus memiliki itikad dari diri sendiri untuk memperjuangkan peran dan haknya di tengah masyarakat.

 Diperlukan kemandirian sikap dari kaum perempuan sendiri untuk merobah persepsi dan perlakuan buruk sikap dan perilaku sosial masyarakat. Harus ada kesadaran internal tentang makna kemandirian sebagai fondasi dan bekal utama perjuangan perempuan melalui pemahaman bahwa perempuan lahir bukan obyek tetapi subyek seperti juga kaum laki-laki.

 Bahwa perempuan lahir dan besar dalam bingkai kesamaan dan kesetaraan serta hanya berbeda dari anatomi fisik. Perempuan memiliki ”makna” kehadiran dan keberadaan sama nilainya dengan kaum laki-laki. Bahwa akan selalu terjadi ketimpangan bila tidak ada peran dan keterlibatan perempuan.

 Ini tentu saja tidak mudah. Secara internal dari diri perempuan sendiri seringkali kesadaran eksistensi diri itu terbaikan. Proses budaya dalam kurun waktu panjang telah membekukan kesadaran eksistensi diri kaum perempuan sendiri dengan memposisikan diri sebagai pelengkap kaum laki-laki. Tak jarang berkembang sikap menjadikan kondisi itu sebagai alat ekonomi jalan pintas dari kaum perempuan sendiri.

 Kemandiri kaum perempuan sangat terasa urgensinya, yang harus dimulai dari kaum perempuan sendiri. Dari titik inilah dapat dimulai pertarungan berimbang yang sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat keseharian.

 

Pendidikan

 Senjata paling ampuh dalam mengatasi diskriminasi peran dan persepsi riil yang menempatkan perempuan di tengah masyarakat adalah pendidikan. Perangkat pendidikan ini tidak hanya memposisikan perempuan secara formal tetapi juga dalam konteks riil di tengah masyarakat.

 Tentu saja, yang jauh lebih penting peningkaan kualitas pendidikan, pararel dengan persepsi dan proses sosial di tengah masyarakat yang menilai dinamika masyarakat hanya dapat diperankan mereka yang memiliki bekal kualitas pendidikan. Kompetisi dan persaingan hanya terjadi bila ada bekal kualitas pendidikan.

 Perempuan Indonesia harus belajar dari diskriminasi ras di Amerika Serikat. Kaum kulit hitam di sana, menggapai kesetaraan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan potensi kemampuan. Jalur-jalur profesi potensial dikembangkan dan dipacu keras kaum kulit hitam seperti olah raga dan dunia musik. Fakta pun berbicara, di dua bidang itu kaum kulit hitam justru lebih unggul dari kaum kulit putih.

 Perjuangan Barakc Obama yang kulit hitam, juga berangkat dari bekal pendidikan dan kualitas kemampuan diri yang luar biasa. Barack Obama mampu menembus tradisi ratusan tahun di sebuah negara terbesar di dunia.

 Jika sosok Obama sendiri mampu menerobos diskriminasi, saya yakin Perempuan Indonesia yang jumlahnya lebih besar dari kaum laki-laki, akan mampu berdiri sejajar , bersinergi dalam peran dan keterlibatan sosial di tengah masyarakat. Bangkitlah!!..Perempuan Indonesia. Majukan Bangsa. Selamat Hari Ibu..
Berita 21 Dec 2008
Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan........Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan........Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan........Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan........Rumah Masa Depan Umat Islam & Semua Golongan

Home   |   Tentang PBR   |   Agenda   |   Kegiatan   |   Publikasi   |   Kontak Kami

Copyright  2008 www.PBR.or.id. WSM All rights reserved.